REVIEW 1
PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP KONSUMEN YANG MENDERITA
KERUGIAN DALAM
TRANSAKSI PROPERTI
MENURUT
UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
(Studi Pada
Pengembang Perumahan PT. Fajar Bangun Raharja Surakarta)
Oleh:
Harjono
Abstrak
Penelitian ini akan mempelajari dan
menjawab masalah tentang dasar hukum yang dapat digunakan oleh konsumen untuk
menuntut tanggung jawab perdata pengembang perumahan, dalam hal kerugian
sebagai upaya mendapatkan mendapatkan perlindungan hukum; pengaturan kewajiban
pelaku usaha (pengembang perumahan) di ConsumerismLaw telah cukup memberikan
perlindungan terhadap pentingnya konsumen atau belum; tanggung jawab perdata
pelaku usaha (pengembang perumahan) telah dilaksanakan sesuai dengan UU
Perlindungan Konsumen atau belum, prosedur hukum dapat ditempuh oleh konsumen
yang tidak menguntungkan, untuk mengklaim kewajiban dari sipil untuk pengembang
rumah tersebut penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empirik dan
bersifat deskriptif. Data penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Untuk mengklaim tanggung jawab perdata pengembang perumahan, sebagai
upaya memperoleh perlindungan hukum yakni UUPK, UU No 2 Tahun 1986 Jo. UU No 9
Tahun 2004, perma No 1 Tahun 2002, UU No 30 Tahun 1999.
Pendahuluan
Pada tanggal 20 April 1999 diundangkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang
mulai efektif berlaku pada 20 April 2000. Apabila dicermati muatan materi UUPK
cukup banyak mengatur perilaku pelaku usaha. Hal ini dapat difahami mengingat
kerugian yang diderita konsumen barang atau jasa acapkali merupakan akibat
perilaku pelaku usaha, sehingga wajar apabila terdapat tuntutan agar perilaku
pelaku usaha tersebut diatur, dan pelanggaran terhadap peraturan tersebut
dikenakan sanksi yang setimpal. Perilaku pelaku usaha dalam melakukan strategi
untuk mengembangkan bisnisnya inilah yang seringkali menimbulkan kerugian bagi
konsumen.
Berkaitan dengan strategi bisnis yang
digunakan oleh pelaku usaha , pada mulanya berkembang adagium caveat emptor (waspadalah
konsumen), kemudian berkembang menjadi caveat venditor (waspadalah pelaku
usaha). Ketika strategi bisnis berorientasi pada kemampuan menghasilkan produk (production
oriented ), maka di sini konsumen harus waspada dalam menkonsumsi barang dan
jasa yang ditawarkan pelaku usaha. Pada masa ini konsumen tidak memiliki banyak
peluang untuk memilih barang atau jasa yang akan dikonsumsinya sesuai dengan
selera, daya beli dan kebutuhan. Konsumen lebih banyak dalam posisi didikte
oleh produsen . Pola konsumsi masyarakat justru banyak ditentukan oleh pelaku
usaha dan bukan oleh konsumennya sendiri. Seiring dengan perkembangan IPTEK dan
meningkatnya tingkat pendidikan, meningkat pula daya kritis masyarakat. Dalam masa
yang demikian, pelaku usaha tidak mungkin lagi mempertahankan strategi
bisnisnya yang lama, dengan resiko barang atau jasa yang ditawarkan tidak akan
laku di pasaran. Pelaku usaha kemudian mengubah strategi bisnisnya ke arah
pemenuhan kebutuhan, selera dan daya beli pasar ( market oriented ). Pada masa
ini pelaku usahalah yang harus waspada dalam memenuhi barang atau jasa untuk
konsumen. Dalam konteks ini pelaku usaha dituntut untuk menghasilkan barang-
barang yang kompetitif terutama dari segi mutu, jumlah dan keamanan ( Johannes
Gunawan, 1999 : 44 ).
Di dalam UUPK antara lain
ditegaskan,pelaku usaha berkewajiban untuk menjamin mutu barang dan atau jasa
yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu
barang dan atau jasa yang berlaku. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau
memper-dagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan. Ketentuan tersebut semestinya ditaati dan
dilaksanakan oleh para pelaku usaha. Namun dalam realitasnya banyak pelaku
usaha yang kurang atau bahkan tidak memberikan perhatian yang serius terhadap kewajiban
maupun larangan tersebut, sehingga berdampak pada timbulnya permasalahan dengan
konsumen.
Permasalahan yang dihadapi konsumen dalam
menkonsumsi barang dan jasa terutama menyangkut mutu, pelayanan serta bentuk transaksi.
Hasil temuan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengenai mutu barang,
menunjukkan masih banyak produk yang tidak memenuhi syarat mutu. Manipulasi mutu
banyak dijumpai pada produk bahan bangunan seperti seng, kunci dan grendel
pintu, triplek, besi beton serta kabel listrik. Selanjutnya, transaksi antara
konsumen dengan pelaku usaha cenderung bersifat tidak balance. Konsumen
terpaksa menandatangani perjanjian yang sebelumnya telah disiapkan oleh pelaku
usaha , akibatnya berbagai kasus pembelian mobil, alat-alat elektronik, pembelian
rumah secara kredit umumnya menempatkan posisi konsumen di pihak yang lemah. Permasalahan
yang dihadapi konsumen tersebut pada dasarnya disebabkan oleh kurang adanya
tanggung jawab pengusaha dan juga lemahnya pengawasan pemerintah (Zumrotin,
1999 : 2).
Secara normatif pelaku usaha bertanggung
jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen
akibat mengkonsumsi barang danatau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Ganti rugi tersebut dapatberupa pengembalian uang atau penggantian barang dan
atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku ( Pasal
19 ayat 1,2 UUPK ). Ketentuan ini merupakan upaya untuk memberikan perlindungan
kepada konsumen. Dengan demikian dapat ditegaskan apabila konsumen menderita
kerugian sebagai akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh
pelaku usaha, berhak untuk menuntut tanggung jawab secara perdata kepada pelaku
usaha atas kerugian yang timbul tersebut. Demikian halnya pada transaksi
properti, apabila konsumen menderita kerugian sehingga menyebabkan timbulnya
kerugian, maka ia berhak untuk menuntut penggantian kerugian tersebut kepada
pengembang perumahan yang bersangkutan.
Nama : Afriyanti
Rimayu
NMP/Kelas
: 20211289/2EB09
Tahun :
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar