REVIEW
2
PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP KONSUMEN YANG MENDERITA
KERUGIAN DALAM
TRANSAKSI PROPERTI
MENURUT
UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
(Studi Pada
Pengembang Perumahan PT. Fajar Bangun Raharja Surakarta)
Oleh:
Harjono
Tinjauan Pustaka
Consumer is an individual who
purchases,or has the capacity to purchases,goods and services offered for sale
by marketing institutions in order to satisfy personal or household needs,wants
or desires. Sedangkan produsen diartikan sebagai setiap penghasil barang dan jasa
yang dikonsumsi oleh pihak atau orang lain. Kata konsument (Belanda) oleh para
ahli hukum telah disepakati sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa
(uitenindelijk gebruiker van gordern en diesten) yang diserahkan kepada mereka
oleh pengusaha (ondernemer) / ( Prasetyo Hadi P, 1997 : 4 ).
Hubungan antara pelaku usaha dengan
konsumen dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan langsung
terjadi apabila antara pelaku usaha dengan konsumen langsung terikat karena
perjanjian yang mereka buat atau karena ketentuan undang-undang. Kalau hubungan
itu terjadi dengan perantaraan pihak lain, maka terjadi hubungan tidak
langsung. Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen pada dasarnya
berlangsung terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan ini terjadi karena
keduanya saling membutuhkan dan bahkan saling interdependensi. Hubungan pelaku
usaha dengan konsumen merupakan hubungan hukum yang melahirkan hak dan
kewajiban.
JF. Kennedy mengemukakan adanya empat
hak dasar konsumen (JF. Kennedy dalam Gunawan Wijaya, 2000 : 27):
- the right to safe products ;
- the right to be informed about products;
- the right to definite choices is selecting products ;
- the right to be heard regarding consumer interest.
Dalam perkembangannya,
olehorganisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International
Organization of Consumers Union (IOCU), empat hak dasar tersebut ditambah
dengan : hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan ganti rugi,
dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Di dalam Rancangan Akademik
Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang disusun Universitas Indonesia tahun
1992, hak dasar konsumen tersebut dikembangkan dengan ditambah hak untuk
mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikan, dan hak untuk
mendapatkan penyelesaian hukum ( Prasetyo HP, 1997 : 6 ).
Pada
prinsipnya ketentuan yang mengatur perlindungan hukum konsumen dalam aspek
hukum perdata, diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1365 KUH Perdata.
Pasal 1320 KUH Perdata mengatur bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat
syarat, yaitu :
- Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van dengenen die zich verbiden );
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om een verbintenis aan te gaan);
- Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp); dan
- Suatu sebab yang halal (een geloofde oorzaak).
Sedangkan Pasal 1365 KUH Perdata
mengatur syarat-syarat untuk menuntut ganti kerugian akibat perbuatan melanggar
hokum yang menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
Dari sisi kepentingan perlindungan
konsumen, terutama untuk syarat ‘kesepakatan’ perlu mendapat perhatian, sebab
banyak transaksi antara pelaku usaha dengan konsumen yang cenderung tidak
balance. Banyak konsumen ketika melakukan transaksi berada pada posisi yang
lemah. Suatu kesepakatan menjadi tidak ada sah apabila diberikan karena kekhilafan,
paksaan, atau penipuan. Selanjutnya untuk mengikatkan diri secara sah menurut
hukum ia harus cakap untuk berbuat menurut hukum, dan oleh karenanya maka ia
bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Akibatnya apabila syarat-syarat atau
salah satu syarat sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata
tersebut tidak dipenuhi, maka berakibat batalnya perikatan yang ada atau bahkan
mengakibatkan tuntutan penggantian kerugian bagi pihak yang tidak memenuhi
persyaratan tersebut (Subekti, 1992 : 35 ).
Pada umumnya jual beli properti antara
pelaku usaha (pengembang perumahan) dengan konsumen, didasarkan pada perjanjian
yang telah ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha (perjanjian
baku/standar). Perjanjian tersebut mengandung ketentuan yang berlaku umum
(massal) dan konsumen hanya memiliki dua pilihan: menyetujui atau menolak.
Kekhawatiran yang muncul berkaitan dengan perjanjian baku dalam jual beli
properti adalah karena dicantumkannya klausul eksonerasi (exception clause).
Klausula eksonerasi adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi atau
bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang seharusnya dibebankan kepada
pelaku usaha. Di dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UUPK diatur mengenai larangan
pencantuman klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian apabila
menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
Masalah tanggung jawab hokum perdata
(civielrechtelijke aanspraakelijkheid) dapat dilihat dari formulasi Pasal 1365
KUH Perdata yang mengatur adanya pertanggungjawaban pribadi si pelaku atas
perbuatan melawan hukum yang dilakukannya (persoonlijke aansprakelijkheid ). Di
samping itu, undang-undang mengenal pula pertanggungjawaban oleh bukan si
pelakuperbuatan melawan hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 1367 KUH
Perdata. Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang tidak saja bertanggung jawab
atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri , tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungan-nya, disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya. Dari pasal ini nampak adanya pertanggung jawaban seseorang dalam
kualitas tertentu (kwalitatieve aansprakelijkheid) (Mariana Sutadi , 1999:113).
Pada asasnya kewajiban untuk memberikan
ganti rugi hanya timbul bilamana ada unsur kesalahan pada si pelaku perbuatan
melawan hukum dan per-buatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
Jadi harus ada unsur kesalahan pada si pelaku dan perbuatan itu harus dapat
dipertanggungwabkan kepadanya (schuld aansprakelijkheid). Dari segi hukum
perdata, tanggung jawab hukum tersebut dapat ditimbulkan karena wanprestasi,
perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad), dan dapat juga karena kurang
hati-hatinya mengakibatkan cacat badan (het veroozaken van lichamelijke letsel
).
Di samping itu, di dalam UUPK juga telah
diatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana tercantum di dalam
Pasal 19. Menurut pasal ini pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti
rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Dengan demikian,
secara normatif telah ada ketentuan yang mengatur tanggung jawab pelaku
usaha,sebagai upaya melindungi pihak konsumen. Secara teoritik, di dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diatur beberapa macam tanggung jawab
( liability ) sebagai berikut ( J. Gunawan, 1999 : 45-46 )
1. Contractual
Liability
Dalam hal terdapat hubungan perjanjian
(privity of contract) antara pelaku usaha (barang atau jasa) dengan konsumen,
maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Contractual Liability
(Pertanggungjawaban Kontraktual), yaitu tanggung jawab perdata atas dasar
perjanjian/kontrak dari pelaku usaha, atas kerugian yang dialami konsumen
akibat mengkonsumsi barang yang dihasil-kannya atau memanfaatkan jasa yang
diberi-kannya. Selain berlaku UUPK, khususnya ketentuan tentang pencantuman
klausula baku sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUPK, maka tanggung jawab atas
dasar perjanjian dari pelaku usaha, diberlakukan juga hokum perjanjian
sebagaimana termuat di dalam Buku III KUH Perdata.
2. Product
Liability
Dalam hal tidak terdapat hubungan
perjanjian (no privity of contract) antara pelaku usaha dengan konsumen, maka
tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Product Liability (Pertanggungjawaban
Produk), yaitu tanggung jawab perdata secara langsung (Strict Liability ) dari
pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang
yang dihasilkannya.
3. Professional
Liability
Dalam hal tidak terdapat hubungan
perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen, tetapi prestasi pemberi jasa
tersebut tidak terukur sehingga merupakan perjanjian ikhtiar
(inspanningsverbintenis), maka tanggungjawab pelaku usaha didasarkan pada
Professional Liability (Pertanggungjawaban Profesional), yang menggunakan
tanggungjawab perdata secara langsung (Strict Liability) dari pelaku usaha atas
kerugian yang dialami konsumen akibat memanfaatkan jasa yang diberikannya.
Sebaliknya, dalam hal terdapat hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan
konsumen, dan prestasi pemberi jasa tersebut terukur sehingga merupakan
perjanjian hasil (resultaants verbintennis), maka tanggung jawab pelaku usaha
didasarkan pada Professional Liability , yang menggunakan tanggung jawab
perdata atas dasar perjanjian (Contractual liability) dari pelaku usaha atas
kerugian yang dialami konsumen akibat memanfaatkan jasa yang diberikannya.
4. Criminal
Liability
Dalam hal hubungan pelaku usaha dengan
negara dalam memelihara keselamatan dan keamanan masyarakat ( baca: konsumen),
maka tanggungjawab pelaku usaha didasarkan pada Criminal Liability
(pertanggungjawaban pidana), yaitu tanggungjawab pidana dari pelaku usaha atas
terganggunya keselamatan dan keamanan masyarakat (konsumen). Secara skematis
hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen dapat digambarkan sebagai berikut
:
Dalam
jual beli properti terdapat perjanjianantara pengembang perumahan dengan konsumen.
Oleh karena itu tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Contractual Liability,
yaitu tanggungjawab perdata atas dasar perjanjian / kontrak dari pelaku usaha, atas
kerugian yang dialami konsumen akibat membeli rumah dari pengembang.
Nama :
Afriyanti Rimayu
NMP/Kelas
: 20211289/2EB09
Tahun :
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar