GLOBAL
VS REGIONAL “BRANCHLESS BANKING”
Branchless
banking adalah jaringan distribusi yang digunakan untuk memberi layanan
finansial di luar kantor-kantor cabang bank melalui teknologi dan jaringan
alternatif dengan biaya efektif, efisien, dan dalam kondisi yang aman dan
nyaman. Selain itu Branchless banking merupakan salah satu strategi
distribusi perbankan yang memberi layanan keuangan tanpa bergantung pada
keberadaan kantor cabang bank.
Karena
sudah sebagian besar daerah di Indonesia terakses jaringan telepon, oleh sebab
itu dibuatkannya suatu terobosan jaringan Branchless banking untuk memudahkan masyarakat
dalam bertransaksi tanpa harus membuat cabang baru dan mengeluarkan biaya yang mahal. Masyarakat yang
menggunakan branchless banking dapat memanfaatkan teknologi perangkat
mobile, dimulai dari ponsel fitur. Komponen penting lainnya adalah seorang
agen. Jika ia seorang agen keliling, ia diharuskan pro aktif melakukan
"jemput bola" ke rumah masyarakat untuk membantu membuka rekening,
transfer dana, setor ataupun tarik tabungan. Agen kemudian menyetor uang
ke master agen, atau langsung ke kantor cabang bank yang lokasi berada jauh
dari pemukiman warga. Namun, di sisi lain, agen juga termasuk salah satu risiko
besar dalam branchless banking karena mereka harus membangun
kepercayaan kepada nasabah.
Tujuan branchless
banking untuk mendorong transaksi keuangan yang lebih aman, dan mencegah money
laundering. Target akhirnya adalah perluasan akses dalam layanan keuangan.
Salah satu alasan pentingnya implementasi layanan branchless banking adalah
masih rendahnya akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan formal. Di
Indonesia bila dibanding dengan negara-negara tetangga branchless banking masih
memiliki persentase akses layanan jasa keuangan yang rendah.
Dari
gambar diatas, memiliki dua model branchless banking yang digunakan, yaitu :
1. Mobile
banking.
Mungkin kita semua sudah familiar
dengan istilah ini, bahkan sudah banyak diantara kita yang menggunakan
fasilitas mobile banking ini. Teknologi ini berbasis pada telepon genggam yang
di install aplikasi dan terhubung dengan server bank melalui operator selular.
2. Agent
banking.
Agent banking adalah orang yang
ditunjuk dan telah diverivikasi oleh pihak bank, istilahnya agent ini adalah
kepanjangan tangan dari pihak bank. Biasanya agent menyediakan tempat di rumah
mereka yg dilengkapi oleh mesin EDC (electronic data capture) dari pihak bank.
Mesin EDC ini digunakan untuk membaca sidik jari nasabah sebagai verivikasi
data transaksi.
Branchless
banking menjadi solusi untuk menjangkau masyarakat yang tinggal di daerah
pelosok, dengan berbagai kondisi geografis. Di Indonesia, banyak daerah yang
sulit diakses dengan kendaraan bermotor. Tak sedikit masyarakat yang harus
menempuh perjalanan selama beberapa jam atau berhari-hari, untuk mendatangi
kantor cabang sebuah bank. Teknologi untuk branchless banking itu mudah sekali
dan bisa digunakan orang awam. Peluang pasarnya sangat besar, karena layanan
perbankan seperti inilah yang dibutuhkan masyarakat yang berada di pelosok. Sehingga
semua masyarakat dapat menggunakan dan menikmati layanan Branchless banking.
Secara
teknis Branchless Banking di dukung dengan Teknologi mobile dan keberadaan agen
Branchless banking merupakan kombinasi antara agent banking dan mobile
banking. Agent banking adalah kegiatan usaha non-bank, termasuk agen keliling,
atau warung dan toko yang membantu bank memberikan layanan perbankan. Sedangkan mobile
banking adalah akses layanan perbankan melalui telepon seluler (ponsel).
Beberapa
perusahaan menganggap bahwa branchless banking hanyalah saluran
distribusi baru. Saat ini beberapa bank telah melakukan program uji coba sistem branchless
banking, termasuk bank pembangunan daerah, bank syariah, hingga perusahaan
telekomunikasi.
Namun, para pemain di bisnis
ini masih menunggu regulasi dari Bank Indonesia yang terus menerus molor. Bank
Indonesia (BI) masih mempelajari hasil uji coba layanan perbankan tanpa
kantor cabang atau branchless banking yang kemudian diperluas menjadi mobile
payment services (MPS). Sebelumnya, BI mengubah istilah branchless
banking menjadi mobile payment service (MPS).
MENUNGGU
GERAK CEPAT OJK
Bank
Indonesia telah menggandeng 5 bank dan 3 perusahaan telekomunikasi untuk
mengadakan uji coba pelaksanaan program branchless banking di
sejumlah daerah pada Mei hingga November 2013. Pada tahap ujicoba, agen-agen
perbankan yang terdiri atas agen individu maupun badan usaha menjalankan fungsi
perbankan secara sederhana; menerima simpanan uang, melayani transfer, dan
menjadi jembatan pembayaran berbagai tagihan seperti biaya listrik, air, jual
beli pulsa.
Rezim
berubah. Ketika fungsi pengawasan dan pengaturan industri perbankan kemudian
beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 31 Desember 2013, konsep branchless
banking pun pada akhirnya terbawa ke otoritas baru tersebut.
Namun
demikian, Bank Indonesia masih mempertahankan wewenangnya sebagai otoritas di
bidang sistem pembayaran. Program branchless banking versi Bank
Indonesia pun, pada akhirnya, fokus hanya pada sistem pembayaran. Agen-agen
perbankan yang direkrut oleh bank, menurut aturan Bank Indonesia, dapat
melayani registrasi uang elektronik, melayani jasa pembayaran berbagai macam
tagihan rutin, dan menyalurkan bantuan pemerintah yang diberikan melalui uang
elektronik.
Agen-agen
perbankan yang direkrut tidak dapat membantu bank membuka rekening tabungan,
menerima simpanan, maupun menyalurkan kredit. Padahal, fungsi-fungsi tersebut
sebelumnya telah diujicobakan dalam pilot project program branchless
banking.
Baru
kemudian pada 18 November 2014, ketika OJK menelurkan Peraturan OJK
No.19/POJK.03/2014 tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan
Inklusif (Laku Pandai), wajah lama branchless banking kembali muncul.
Beleid
terbaru tersebut memberikan kewenangan kepada agen perbankan untuk berlaku
sebagaimana laiknya perpanjangan tangan bank, yakni membuka tabungan, menerima
simpanan nasabah, menyalurkan kredit, dan menjual produk jasa keuangan lainnya
seperti asuransi mikro. Tentu saja, produk dan layanan tersebut merupakan versi
yang paling sederhana dan terbatas.
Ambil
contoh misalnya, produk tabungan yang dilayani oleh agen merupakan produk
tabungan sederhana (basic saving account) hanya diperuntukkan bagi
nasabah yang belum memiliki tabungan dari bank manapun. Jumlah uang dalam
rekening pun dibatasi maksimal Rp20 juta setiap orang. Transfer dan transaksi
dibatasi paling banyak Rp5 juta juta setiap bulan secara kumulatif. Jika lebih
dari batasan-batasan tersebut, nasabah tidak lagi dikategorikan sebagai nasabah
mikro agen perbankan, melainkan telah naik kelas menjadi nasabah reguler bank.
Demikian
pula, layanan kredit mikro yang dapat disalurkan oleh agen dibatasi hanya
kepada debitur yang telah menjadi nasabah agen yang bersangkutan selama
setidaknya 6 bulan. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal Rp20 juta pernasabah.
Jika nasabah ingin mendapatkan kredit dalam jumlah lebih besar dari itu, maka
dia harus beralih ke bank, bukan lagi lewat agen.
Sebagai
perpanjangan tangan bank, peran agen menjadi penting. Baik Bank Indonesia
maupun OJK menetapkan kriteria cukup ketat bagi agen yang hendak direkrut oleh
bank. Kedua otoritas tersebut sepakat bahwa agen harus memiliki rekam jejak
yang baik, tercatat telah menjadi nasabah bank yang bersangkutan selama
beberapa waktu, serta diwajibkan menyerahkan deposit kepada bank sebagai
jaminan.
Sepakat
soal persyaratan agen bank, kedua otoritas ini justru berbeda pandangan terkait
kriteria bank yang boleh menjalankan layanan branchless banking. Meskipun
ruang lingkup yang diatur oleh keduanya berbeda—BI mengatur sistem pembayaran
sedangkan OJK mengatur layanan perbankan—namun ada persamaan mendasar dalam dua
aturan yang dirilis oleh BI dan OJK, yakni program layanan perbankan tanpa
kantor serta keterlibatan agen perbankan dalam menjalankan program tersebut.
BI
masih bersikeras bahwa bank yang berhak menjalankan program layanan bank tanpa
kantor terkait sistem pembayaran harus merupakan bank bermodal besar,
setidaknya Rp30 triliun, serta harus melewati proses pengujian. Sementara itu,
OJK bersikap lebih terbuka, dengan mengizinkan bank dari kelompok modal
manapun, bahkan termasuk bank bermodal kurang dari Rp1 triliun, untuk terlibat
dalam program ini.
Keterbukaan
ini di satu sisi memberikan angin segar bagi para pelaku industri perbankan,
namun di sisi lain menimbulkan kekhawatiran. Ekonom Universitas Atmajaya
Agustinus Prasetyantoko meningatkan, OJK harus sangat berhati-hati dalam
merumuskan aturan teknis layanan branchless banking, sebab tak semua
bank mampu menjalankan program ini. “Harus jelas do dan don’t nya
apa saja,” ujarnya.
POJK
tersebut, misalnya, mengatur bahwa minimal sebanyak 70% dari kredit yang
disalurkan oleh agen perbankan harus berupa kredit produktif. Belum dijelaskan
apakah kredit produktif melalui agen perbankan tersebut dapat dikategorikan
sebagai kredit produktif ke sektor mikro sebagaimana amanat Peraturan BI
No14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan
Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Beleid
tersebut mewajibkan bank menyalurkan kredit mikro sebesar 20% dari total
kredit. Pemenuhan kewajiban ini berlaku secara bertahap, paling lambat pada
akhir 2018.
Selain
itu, masih ada pula catatan terkait syarat bank yang dapat ikut serta dalam
programbranchless banking versi OJK. Aturan yang ada tidak membatasi
tingkat permodalan bank, selama bank memiliki infrastruktur pendukung untuk menyediakan
layanan transaksi elektronik bagi nasabah yang meliputi layanan sms
banking atau mobile banking, serta internet banking atauhost
to host.
Aturan
ini berbenturan dengan PBI No 14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan
Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank, yang menyebutkan bank bermodal
kurang dari Rp1 triliun alias masuk kategori BUKU 1, belum diperkenankan
mengembangkan layanan internet banking.
Dikonfirmasi
mengenai hal ini, Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Gandjar
Mustika menolak anggapan bahwa POJK Laku Pandai berbenturan dengan Peraturan
Bank Indonesia. Menurutnya, aturan baru yang dirilis OJK sengaja dibuat lebih longgar
untuk mengakomodasi perkembangan industri perbankan di masa mendatang.
“Bank BUKU 1 tidak boleh punya internet
banking ya otomatis tidak bisa. Aturan ini dibuat supaya umurnya jangka
panjang. Ke depan kalau BUKU 1 sudah bagus ya bisa saja,” katanya.
OJK,
sebagai otoritas yang membawahkan tak hanya pengaturan dan pengawasan
perbankan, juga harus menyelaraskan aturan branchless banking dengan
aturan di bidang industri asuransi, multifinance, dan industri jasa keuangan
lainnya. Jangan sampai ada tumpang tindih peraturan yang malah saling mengunci
satu sama lain.
Otoritas
yang pada tahun ini berulang tahun ketiga itu harus bekerja keras untuk
memastikan semuanya berjalan baik. Juga harus bekerja cepat, agar mimpi
memperluas jangkauan layanan jasa keuangan ke masyarakat luas dapat segera
terealisasi.
BCA
SIAPKAN BRANCHLESS BANKING
Bank
BCA akan menggandeng perusahaan telekomunikasi untuk membuka layanan bank tanpa
kantor atau branchless banking. Selain itu, BCA juga akan menjajaki
penyertaan modal ke perusahaan telekomunikasi jika mendapat izin.
"Kami
mau kerja sama dengan perusahaan telekomunikasi, lagi cari bentuknya pakai
apa," ungkap Direktur Utama Bank BCA, Jahja Setiadmadja, ditemui di
Jakarta, Senin (7/2).
Jahja
mengatakan kerja sama tersebut dilakukan karena pembentukan jaringan baru untuk
mendukung branchless banking lebih mahal. Namun, dia belum bisa
memastikan kapan kerja sama akan dilakukan. "Kepastian kapan belum
jelas," tegasnya.
Selain
kerja sama, BCA dapat menjajaki penyertaan modal ke perusahaan telekomunikasi
yang nantinya akan digandeng. Namun, Jahja mengatakan peraturan belum memberi
celah untuk aksi korporasi tersebut. "Kalau memang dibolehkan (penyertaan
modal) itu bisa jadi terobosan," ungkapnya.
Meski
demikian, Jahja menilai kerja sama dengan telco paling mungkin dilakukan untuk branchless
banking. Sistem branchless bankingdigunakan untuk memeratakan layanan
perbankan hingga pelosok desa. Dengan sistem ini, nasabah dapat membuka
rekening hingga transaksi perbankan melalui agen bank yang ditunjuk dengan
penggunaan telpon genggam.
Nama : Afriyanti Rimayu
NPM : 20211289
Kelas : 4EB09