hello

hello

Selasa, 05 Mei 2015

TUGAS 2 (AKUNTANSI INTERNASIONAL)

GLOBAL VS REGIONAL “BRANCHLESS BANKING”

          Branchless banking adalah jaringan distribusi yang digunakan untuk memberi layanan finansial di luar kantor-kantor cabang bank melalui teknologi dan jaringan alternatif dengan biaya efektif, efisien, dan dalam kondisi yang aman dan nyaman. Selain itu Branchless banking merupakan salah satu strategi distribusi perbankan yang memberi layanan keuangan tanpa bergantung pada keberadaan kantor cabang bank.
      Karena sudah sebagian besar daerah di Indonesia terakses jaringan telepon, oleh sebab itu dibuatkannya suatu terobosan jaringan Branchless banking untuk memudahkan masyarakat dalam bertransaksi tanpa harus membuat cabang baru dan  mengeluarkan biaya yang mahal. Masyarakat yang menggunakan branchless banking dapat memanfaatkan teknologi perangkat mobile, dimulai dari ponsel fitur. Komponen penting lainnya adalah seorang agen. Jika ia seorang agen keliling, ia diharuskan pro aktif melakukan "jemput bola" ke rumah masyarakat untuk membantu membuka rekening, transfer dana, setor ataupun tarik tabungan. Agen kemudian menyetor uang ke master agen, atau langsung ke kantor cabang bank yang lokasi berada jauh dari pemukiman warga. Namun, di sisi lain, agen juga termasuk salah satu risiko besar dalam branchless banking karena mereka harus membangun kepercayaan kepada nasabah. 
     Tujuan branchless banking untuk mendorong transaksi keuangan yang lebih aman, dan mencegah money laundering. Target akhirnya adalah perluasan akses dalam layanan keuangan. Salah satu alasan pentingnya implementasi layanan branchless banking adalah masih rendahnya akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan formal. Di Indonesia bila dibanding dengan negara-negara tetangga branchless banking masih memiliki persentase akses layanan jasa keuangan yang rendah.



            Dari gambar diatas, memiliki dua model  branchless banking yang digunakan, yaitu :
1.      Mobile banking.
Mungkin kita semua sudah familiar dengan istilah ini, bahkan sudah banyak diantara kita yang menggunakan fasilitas mobile banking ini. Teknologi ini berbasis pada telepon genggam yang di install aplikasi dan terhubung dengan server bank melalui operator selular.
2.      Agent banking.
Agent banking adalah orang yang ditunjuk dan telah diverivikasi oleh pihak bank, istilahnya agent ini adalah kepanjangan tangan dari pihak bank. Biasanya agent menyediakan tempat di rumah mereka yg dilengkapi oleh mesin EDC (electronic data capture) dari pihak bank. Mesin EDC ini digunakan untuk membaca sidik jari nasabah sebagai verivikasi data transaksi.

       Branchless banking menjadi solusi untuk menjangkau masyarakat yang tinggal di daerah pelosok, dengan berbagai kondisi geografis. Di Indonesia, banyak daerah yang sulit diakses dengan kendaraan bermotor. Tak sedikit masyarakat yang harus menempuh perjalanan selama beberapa jam atau berhari-hari, untuk mendatangi kantor cabang sebuah bank. Teknologi untuk branchless banking itu mudah sekali dan bisa digunakan orang awam. Peluang pasarnya sangat besar, karena layanan perbankan seperti inilah yang dibutuhkan masyarakat yang berada di pelosok. Sehingga semua masyarakat dapat menggunakan dan menikmati layanan Branchless banking.
         Secara teknis Branchless Banking di dukung dengan Teknologi mobile dan keberadaan agen Branchless banking merupakan kombinasi antara agent banking dan mobile banking. Agent banking adalah kegiatan usaha non-bank, termasuk agen keliling, atau warung dan toko yang membantu bank memberikan layanan perbankan. Sedangkan mobile banking adalah akses layanan perbankan melalui telepon seluler (ponsel).

         Beberapa perusahaan menganggap bahwa branchless banking hanyalah saluran distribusi baru. Saat ini beberapa bank telah melakukan program uji coba sistem branchless banking, termasuk bank pembangunan daerah, bank syariah, hingga perusahaan telekomunikasi.
        Namun, para pemain di bisnis ini masih menunggu regulasi dari Bank Indonesia yang terus menerus molor. Bank Indonesia (BI) masih mempelajari hasil uji coba layanan perbankan tanpa kantor cabang atau branchless banking yang kemudian diperluas menjadi mobile payment services (MPS). Sebelumnya, BI mengubah istilah branchless banking menjadi mobile payment service (MPS).

MENUNGGU GERAK CEPAT OJK

        Bank Indonesia telah menggandeng 5 bank dan 3 perusahaan telekomunikasi untuk mengadakan uji coba pelaksanaan program branchless banking di sejumlah daerah pada Mei hingga November 2013. Pada tahap ujicoba, agen-agen perbankan yang terdiri atas agen individu maupun badan usaha menjalankan fungsi perbankan secara sederhana; menerima simpanan uang, melayani transfer, dan menjadi jembatan pembayaran berbagai tagihan seperti biaya listrik, air, jual beli pulsa.
         Rezim berubah. Ketika fungsi pengawasan dan pengaturan industri perbankan kemudian beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 31 Desember 2013, konsep branchless banking pun pada akhirnya terbawa ke otoritas baru tersebut.
      Namun demikian, Bank Indonesia masih mempertahankan wewenangnya sebagai otoritas di bidang sistem pembayaran. Program branchless banking versi Bank Indonesia pun, pada akhirnya, fokus hanya pada sistem pembayaran. Agen-agen perbankan yang direkrut oleh bank, menurut aturan Bank Indonesia, dapat melayani registrasi uang elektronik, melayani jasa pembayaran berbagai macam tagihan rutin, dan menyalurkan bantuan pemerintah yang diberikan melalui uang elektronik.
         Agen-agen perbankan yang direkrut tidak dapat membantu bank membuka rekening tabungan, menerima simpanan, maupun menyalurkan kredit. Padahal, fungsi-fungsi tersebut sebelumnya telah diujicobakan dalam pilot project program branchless banking.
   Baru kemudian pada 18 November 2014, ketika OJK menelurkan Peraturan OJK No.19/POJK.03/2014 tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai), wajah lama branchless banking kembali muncul.
     Beleid terbaru tersebut memberikan kewenangan kepada agen perbankan untuk berlaku sebagaimana laiknya perpanjangan tangan bank, yakni membuka tabungan, menerima simpanan nasabah, menyalurkan kredit, dan menjual produk jasa keuangan lainnya seperti asuransi mikro. Tentu saja, produk dan layanan tersebut merupakan versi yang paling sederhana dan terbatas.
         Ambil contoh misalnya, produk tabungan yang dilayani oleh agen merupakan produk tabungan sederhana (basic saving account) hanya diperuntukkan bagi nasabah yang belum memiliki tabungan dari bank manapun. Jumlah uang dalam rekening pun dibatasi maksimal Rp20 juta setiap orang. Transfer dan transaksi dibatasi paling banyak Rp5 juta juta setiap bulan secara kumulatif. Jika lebih dari batasan-batasan tersebut, nasabah tidak lagi dikategorikan sebagai nasabah mikro agen perbankan, melainkan telah naik kelas menjadi nasabah reguler bank.
       Demikian pula, layanan kredit mikro yang dapat disalurkan oleh agen dibatasi hanya kepada debitur yang telah menjadi nasabah agen yang bersangkutan selama setidaknya 6 bulan. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal Rp20 juta pernasabah. Jika nasabah ingin mendapatkan kredit dalam jumlah lebih besar dari itu, maka dia harus beralih ke bank, bukan lagi lewat agen.
        Sebagai perpanjangan tangan bank, peran agen menjadi penting. Baik Bank Indonesia maupun OJK menetapkan kriteria cukup ketat bagi agen yang hendak direkrut oleh bank. Kedua otoritas tersebut sepakat bahwa agen harus memiliki rekam jejak yang baik, tercatat telah menjadi nasabah bank yang bersangkutan selama beberapa waktu, serta diwajibkan menyerahkan deposit kepada bank sebagai jaminan.
         Sepakat soal persyaratan agen bank, kedua otoritas ini justru berbeda pandangan terkait kriteria bank yang boleh menjalankan layanan branchless banking. Meskipun ruang lingkup yang diatur oleh keduanya berbeda—BI mengatur sistem pembayaran sedangkan OJK mengatur layanan perbankan—namun ada persamaan mendasar dalam dua aturan yang dirilis oleh BI dan OJK, yakni program layanan perbankan tanpa kantor serta keterlibatan agen perbankan dalam menjalankan program tersebut.
         BI masih bersikeras bahwa bank yang berhak menjalankan program layanan bank tanpa kantor terkait sistem pembayaran harus merupakan bank bermodal besar, setidaknya Rp30 triliun, serta harus melewati proses pengujian. Sementara itu, OJK bersikap lebih terbuka, dengan mengizinkan bank dari kelompok modal manapun, bahkan termasuk bank bermodal kurang dari Rp1 triliun, untuk terlibat dalam program ini.
         Keterbukaan ini di satu sisi memberikan angin segar bagi para pelaku industri perbankan, namun di sisi lain menimbulkan kekhawatiran. Ekonom Universitas Atmajaya Agustinus Prasetyantoko meningatkan, OJK harus sangat berhati-hati dalam merumuskan aturan teknis layanan branchless banking, sebab tak semua bank mampu menjalankan program ini. “Harus jelas do dan don’t nya apa saja,” ujarnya.
            POJK tersebut, misalnya, mengatur bahwa minimal sebanyak 70% dari kredit yang disalurkan oleh agen perbankan harus berupa kredit produktif. Belum dijelaskan apakah kredit produktif melalui agen perbankan tersebut dapat dikategorikan sebagai kredit produktif ke sektor mikro sebagaimana amanat Peraturan BI No14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Beleid tersebut mewajibkan bank menyalurkan kredit mikro sebesar 20% dari total kredit. Pemenuhan kewajiban ini berlaku secara bertahap, paling lambat pada akhir 2018.   
   Selain itu, masih ada pula catatan terkait syarat bank yang dapat ikut serta dalam programbranchless banking versi OJK. Aturan yang ada tidak membatasi tingkat permodalan bank, selama bank memiliki infrastruktur pendukung untuk menyediakan layanan transaksi elektronik bagi nasabah yang meliputi layanan sms banking atau mobile banking, serta internet banking atauhost to host.
      Aturan ini berbenturan dengan PBI No 14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank, yang menyebutkan bank bermodal kurang dari Rp1 triliun alias masuk kategori BUKU 1, belum diperkenankan mengembangkan layanan internet banking.
       Dikonfirmasi mengenai hal ini, Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Gandjar Mustika menolak anggapan bahwa POJK Laku Pandai berbenturan dengan Peraturan Bank Indonesia. Menurutnya, aturan baru yang dirilis OJK sengaja dibuat lebih longgar untuk mengakomodasi perkembangan industri perbankan di masa mendatang.
“Bank BUKU 1 tidak boleh punya internet banking ya otomatis tidak bisa. Aturan ini dibuat supaya umurnya jangka panjang. Ke depan kalau BUKU 1 sudah bagus ya bisa saja,” katanya.
         OJK, sebagai otoritas yang membawahkan tak hanya pengaturan dan pengawasan perbankan, juga harus menyelaraskan aturan branchless banking dengan aturan di bidang industri asuransi, multifinance, dan industri jasa keuangan lainnya. Jangan sampai ada tumpang tindih peraturan yang malah saling mengunci satu sama lain.
        Otoritas yang pada tahun ini berulang tahun ketiga itu harus bekerja keras untuk memastikan semuanya berjalan baik. Juga harus bekerja cepat, agar mimpi memperluas jangkauan layanan jasa keuangan ke masyarakat luas dapat segera terealisasi.

BCA SIAPKAN BRANCHLESS BANKING


         
          Bank BCA akan menggandeng perusahaan telekomunikasi untuk membuka layanan bank tanpa kantor atau branchless banking. Selain itu, BCA juga akan menjajaki penyertaan modal ke perusahaan telekomunikasi jika mendapat izin. 
       "Kami mau kerja sama dengan perusahaan telekomunikasi, lagi cari bentuknya pakai apa," ungkap Direktur Utama Bank BCA, Jahja Setiadmadja, ditemui di Jakarta, Senin (7/2).
      Jahja mengatakan kerja sama tersebut dilakukan karena pembentukan jaringan baru untuk mendukung branchless banking lebih mahal. Namun, dia belum bisa memastikan kapan kerja sama akan dilakukan. "Kepastian kapan belum jelas," tegasnya.
          Selain kerja sama, BCA dapat menjajaki penyertaan modal ke perusahaan telekomunikasi yang nantinya akan digandeng. Namun, Jahja mengatakan peraturan belum memberi celah untuk aksi korporasi tersebut. "Kalau memang dibolehkan (penyertaan modal) itu bisa jadi terobosan," ungkapnya. 
    Meski demikian, Jahja menilai kerja sama dengan telco paling mungkin dilakukan untuk branchless banking. Sistem branchless bankingdigunakan untuk memeratakan layanan perbankan hingga pelosok desa. Dengan sistem ini, nasabah dapat membuka rekening hingga transaksi perbankan melalui agen bank yang ditunjuk dengan penggunaan telpon genggam.


Nama : Afriyanti Rimayu
NPM : 20211289
Kelas : 4EB09