hello

hello

Selasa, 05 Mei 2015

TUGAS 2 (AKUNTANSI INTERNASIONAL)

GLOBAL VS REGIONAL “BRANCHLESS BANKING”

          Branchless banking adalah jaringan distribusi yang digunakan untuk memberi layanan finansial di luar kantor-kantor cabang bank melalui teknologi dan jaringan alternatif dengan biaya efektif, efisien, dan dalam kondisi yang aman dan nyaman. Selain itu Branchless banking merupakan salah satu strategi distribusi perbankan yang memberi layanan keuangan tanpa bergantung pada keberadaan kantor cabang bank.
      Karena sudah sebagian besar daerah di Indonesia terakses jaringan telepon, oleh sebab itu dibuatkannya suatu terobosan jaringan Branchless banking untuk memudahkan masyarakat dalam bertransaksi tanpa harus membuat cabang baru dan  mengeluarkan biaya yang mahal. Masyarakat yang menggunakan branchless banking dapat memanfaatkan teknologi perangkat mobile, dimulai dari ponsel fitur. Komponen penting lainnya adalah seorang agen. Jika ia seorang agen keliling, ia diharuskan pro aktif melakukan "jemput bola" ke rumah masyarakat untuk membantu membuka rekening, transfer dana, setor ataupun tarik tabungan. Agen kemudian menyetor uang ke master agen, atau langsung ke kantor cabang bank yang lokasi berada jauh dari pemukiman warga. Namun, di sisi lain, agen juga termasuk salah satu risiko besar dalam branchless banking karena mereka harus membangun kepercayaan kepada nasabah. 
     Tujuan branchless banking untuk mendorong transaksi keuangan yang lebih aman, dan mencegah money laundering. Target akhirnya adalah perluasan akses dalam layanan keuangan. Salah satu alasan pentingnya implementasi layanan branchless banking adalah masih rendahnya akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan formal. Di Indonesia bila dibanding dengan negara-negara tetangga branchless banking masih memiliki persentase akses layanan jasa keuangan yang rendah.



            Dari gambar diatas, memiliki dua model  branchless banking yang digunakan, yaitu :
1.      Mobile banking.
Mungkin kita semua sudah familiar dengan istilah ini, bahkan sudah banyak diantara kita yang menggunakan fasilitas mobile banking ini. Teknologi ini berbasis pada telepon genggam yang di install aplikasi dan terhubung dengan server bank melalui operator selular.
2.      Agent banking.
Agent banking adalah orang yang ditunjuk dan telah diverivikasi oleh pihak bank, istilahnya agent ini adalah kepanjangan tangan dari pihak bank. Biasanya agent menyediakan tempat di rumah mereka yg dilengkapi oleh mesin EDC (electronic data capture) dari pihak bank. Mesin EDC ini digunakan untuk membaca sidik jari nasabah sebagai verivikasi data transaksi.

       Branchless banking menjadi solusi untuk menjangkau masyarakat yang tinggal di daerah pelosok, dengan berbagai kondisi geografis. Di Indonesia, banyak daerah yang sulit diakses dengan kendaraan bermotor. Tak sedikit masyarakat yang harus menempuh perjalanan selama beberapa jam atau berhari-hari, untuk mendatangi kantor cabang sebuah bank. Teknologi untuk branchless banking itu mudah sekali dan bisa digunakan orang awam. Peluang pasarnya sangat besar, karena layanan perbankan seperti inilah yang dibutuhkan masyarakat yang berada di pelosok. Sehingga semua masyarakat dapat menggunakan dan menikmati layanan Branchless banking.
         Secara teknis Branchless Banking di dukung dengan Teknologi mobile dan keberadaan agen Branchless banking merupakan kombinasi antara agent banking dan mobile banking. Agent banking adalah kegiatan usaha non-bank, termasuk agen keliling, atau warung dan toko yang membantu bank memberikan layanan perbankan. Sedangkan mobile banking adalah akses layanan perbankan melalui telepon seluler (ponsel).

         Beberapa perusahaan menganggap bahwa branchless banking hanyalah saluran distribusi baru. Saat ini beberapa bank telah melakukan program uji coba sistem branchless banking, termasuk bank pembangunan daerah, bank syariah, hingga perusahaan telekomunikasi.
        Namun, para pemain di bisnis ini masih menunggu regulasi dari Bank Indonesia yang terus menerus molor. Bank Indonesia (BI) masih mempelajari hasil uji coba layanan perbankan tanpa kantor cabang atau branchless banking yang kemudian diperluas menjadi mobile payment services (MPS). Sebelumnya, BI mengubah istilah branchless banking menjadi mobile payment service (MPS).

MENUNGGU GERAK CEPAT OJK

        Bank Indonesia telah menggandeng 5 bank dan 3 perusahaan telekomunikasi untuk mengadakan uji coba pelaksanaan program branchless banking di sejumlah daerah pada Mei hingga November 2013. Pada tahap ujicoba, agen-agen perbankan yang terdiri atas agen individu maupun badan usaha menjalankan fungsi perbankan secara sederhana; menerima simpanan uang, melayani transfer, dan menjadi jembatan pembayaran berbagai tagihan seperti biaya listrik, air, jual beli pulsa.
         Rezim berubah. Ketika fungsi pengawasan dan pengaturan industri perbankan kemudian beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 31 Desember 2013, konsep branchless banking pun pada akhirnya terbawa ke otoritas baru tersebut.
      Namun demikian, Bank Indonesia masih mempertahankan wewenangnya sebagai otoritas di bidang sistem pembayaran. Program branchless banking versi Bank Indonesia pun, pada akhirnya, fokus hanya pada sistem pembayaran. Agen-agen perbankan yang direkrut oleh bank, menurut aturan Bank Indonesia, dapat melayani registrasi uang elektronik, melayani jasa pembayaran berbagai macam tagihan rutin, dan menyalurkan bantuan pemerintah yang diberikan melalui uang elektronik.
         Agen-agen perbankan yang direkrut tidak dapat membantu bank membuka rekening tabungan, menerima simpanan, maupun menyalurkan kredit. Padahal, fungsi-fungsi tersebut sebelumnya telah diujicobakan dalam pilot project program branchless banking.
   Baru kemudian pada 18 November 2014, ketika OJK menelurkan Peraturan OJK No.19/POJK.03/2014 tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai), wajah lama branchless banking kembali muncul.
     Beleid terbaru tersebut memberikan kewenangan kepada agen perbankan untuk berlaku sebagaimana laiknya perpanjangan tangan bank, yakni membuka tabungan, menerima simpanan nasabah, menyalurkan kredit, dan menjual produk jasa keuangan lainnya seperti asuransi mikro. Tentu saja, produk dan layanan tersebut merupakan versi yang paling sederhana dan terbatas.
         Ambil contoh misalnya, produk tabungan yang dilayani oleh agen merupakan produk tabungan sederhana (basic saving account) hanya diperuntukkan bagi nasabah yang belum memiliki tabungan dari bank manapun. Jumlah uang dalam rekening pun dibatasi maksimal Rp20 juta setiap orang. Transfer dan transaksi dibatasi paling banyak Rp5 juta juta setiap bulan secara kumulatif. Jika lebih dari batasan-batasan tersebut, nasabah tidak lagi dikategorikan sebagai nasabah mikro agen perbankan, melainkan telah naik kelas menjadi nasabah reguler bank.
       Demikian pula, layanan kredit mikro yang dapat disalurkan oleh agen dibatasi hanya kepada debitur yang telah menjadi nasabah agen yang bersangkutan selama setidaknya 6 bulan. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal Rp20 juta pernasabah. Jika nasabah ingin mendapatkan kredit dalam jumlah lebih besar dari itu, maka dia harus beralih ke bank, bukan lagi lewat agen.
        Sebagai perpanjangan tangan bank, peran agen menjadi penting. Baik Bank Indonesia maupun OJK menetapkan kriteria cukup ketat bagi agen yang hendak direkrut oleh bank. Kedua otoritas tersebut sepakat bahwa agen harus memiliki rekam jejak yang baik, tercatat telah menjadi nasabah bank yang bersangkutan selama beberapa waktu, serta diwajibkan menyerahkan deposit kepada bank sebagai jaminan.
         Sepakat soal persyaratan agen bank, kedua otoritas ini justru berbeda pandangan terkait kriteria bank yang boleh menjalankan layanan branchless banking. Meskipun ruang lingkup yang diatur oleh keduanya berbeda—BI mengatur sistem pembayaran sedangkan OJK mengatur layanan perbankan—namun ada persamaan mendasar dalam dua aturan yang dirilis oleh BI dan OJK, yakni program layanan perbankan tanpa kantor serta keterlibatan agen perbankan dalam menjalankan program tersebut.
         BI masih bersikeras bahwa bank yang berhak menjalankan program layanan bank tanpa kantor terkait sistem pembayaran harus merupakan bank bermodal besar, setidaknya Rp30 triliun, serta harus melewati proses pengujian. Sementara itu, OJK bersikap lebih terbuka, dengan mengizinkan bank dari kelompok modal manapun, bahkan termasuk bank bermodal kurang dari Rp1 triliun, untuk terlibat dalam program ini.
         Keterbukaan ini di satu sisi memberikan angin segar bagi para pelaku industri perbankan, namun di sisi lain menimbulkan kekhawatiran. Ekonom Universitas Atmajaya Agustinus Prasetyantoko meningatkan, OJK harus sangat berhati-hati dalam merumuskan aturan teknis layanan branchless banking, sebab tak semua bank mampu menjalankan program ini. “Harus jelas do dan don’t nya apa saja,” ujarnya.
            POJK tersebut, misalnya, mengatur bahwa minimal sebanyak 70% dari kredit yang disalurkan oleh agen perbankan harus berupa kredit produktif. Belum dijelaskan apakah kredit produktif melalui agen perbankan tersebut dapat dikategorikan sebagai kredit produktif ke sektor mikro sebagaimana amanat Peraturan BI No14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Beleid tersebut mewajibkan bank menyalurkan kredit mikro sebesar 20% dari total kredit. Pemenuhan kewajiban ini berlaku secara bertahap, paling lambat pada akhir 2018.   
   Selain itu, masih ada pula catatan terkait syarat bank yang dapat ikut serta dalam programbranchless banking versi OJK. Aturan yang ada tidak membatasi tingkat permodalan bank, selama bank memiliki infrastruktur pendukung untuk menyediakan layanan transaksi elektronik bagi nasabah yang meliputi layanan sms banking atau mobile banking, serta internet banking atauhost to host.
      Aturan ini berbenturan dengan PBI No 14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank, yang menyebutkan bank bermodal kurang dari Rp1 triliun alias masuk kategori BUKU 1, belum diperkenankan mengembangkan layanan internet banking.
       Dikonfirmasi mengenai hal ini, Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Gandjar Mustika menolak anggapan bahwa POJK Laku Pandai berbenturan dengan Peraturan Bank Indonesia. Menurutnya, aturan baru yang dirilis OJK sengaja dibuat lebih longgar untuk mengakomodasi perkembangan industri perbankan di masa mendatang.
“Bank BUKU 1 tidak boleh punya internet banking ya otomatis tidak bisa. Aturan ini dibuat supaya umurnya jangka panjang. Ke depan kalau BUKU 1 sudah bagus ya bisa saja,” katanya.
         OJK, sebagai otoritas yang membawahkan tak hanya pengaturan dan pengawasan perbankan, juga harus menyelaraskan aturan branchless banking dengan aturan di bidang industri asuransi, multifinance, dan industri jasa keuangan lainnya. Jangan sampai ada tumpang tindih peraturan yang malah saling mengunci satu sama lain.
        Otoritas yang pada tahun ini berulang tahun ketiga itu harus bekerja keras untuk memastikan semuanya berjalan baik. Juga harus bekerja cepat, agar mimpi memperluas jangkauan layanan jasa keuangan ke masyarakat luas dapat segera terealisasi.

BCA SIAPKAN BRANCHLESS BANKING


         
          Bank BCA akan menggandeng perusahaan telekomunikasi untuk membuka layanan bank tanpa kantor atau branchless banking. Selain itu, BCA juga akan menjajaki penyertaan modal ke perusahaan telekomunikasi jika mendapat izin. 
       "Kami mau kerja sama dengan perusahaan telekomunikasi, lagi cari bentuknya pakai apa," ungkap Direktur Utama Bank BCA, Jahja Setiadmadja, ditemui di Jakarta, Senin (7/2).
      Jahja mengatakan kerja sama tersebut dilakukan karena pembentukan jaringan baru untuk mendukung branchless banking lebih mahal. Namun, dia belum bisa memastikan kapan kerja sama akan dilakukan. "Kepastian kapan belum jelas," tegasnya.
          Selain kerja sama, BCA dapat menjajaki penyertaan modal ke perusahaan telekomunikasi yang nantinya akan digandeng. Namun, Jahja mengatakan peraturan belum memberi celah untuk aksi korporasi tersebut. "Kalau memang dibolehkan (penyertaan modal) itu bisa jadi terobosan," ungkapnya. 
    Meski demikian, Jahja menilai kerja sama dengan telco paling mungkin dilakukan untuk branchless banking. Sistem branchless bankingdigunakan untuk memeratakan layanan perbankan hingga pelosok desa. Dengan sistem ini, nasabah dapat membuka rekening hingga transaksi perbankan melalui agen bank yang ditunjuk dengan penggunaan telpon genggam.


Nama : Afriyanti Rimayu
NPM : 20211289
Kelas : 4EB09

Rabu, 25 Maret 2015

Perkembangan Akuntansi Di Indonesia

Afriyanti Rimayu
2021189
4EB09
AKUNTANSI INTERNASIONAL

·         Perkembangan Akuntansi Di Indonesia
            Praktik akuntansi di Indonesia dapat ditelusuri pada era penjajahan Belanda sekitar 17 (ADB 2003) atau sekitar tahun 1642 (Soemarso 1995). Jejak yang jelas berkaitan dengan praktik akuntansi di Indonesia dapat ditemui pada tahun 1747, yaitu praktik pembukuan yang dilaksanakan di Amphioen Sociteyt yang bekedudukan di Jakarta (Soemarso 1995). Pada era ini Belanda mengenalkan sistem pembukuan berpasangan (double-entry bookkeeping) sebagaimana yang dikembangkan oleh Luca Pacioli. Perusahaan VOC milik Belanda yang merupakan organisasi komersial utama selama masa penjajahan memainkan peranan penting dlam praktik bisnis di Indonesia selama era ini (Diga dan Yunus 1997).
          Kegiatan ekonomi pada masa penjajahan meningkat cepat selama tahun 1800an dan awal tahun 1900an. Hal ini ditandai dengan dihapuskannya tanam paksa sehingga pengusaha Belanda banyak yang menanamkan modalnya di Indonesia. Peningkatan kegiatan ekonomi mendorong munculnya permintaan akan tenaga akuntan dan juru buku yang terlatih. Akibatnya, fungsi auditing  mulai dikenalkan di Indonesia pada tahun 1907 (Soemarso 1995). Peluang terhadap kebutuhan audit ini akhirnya diambil oleh akuntan Belanda dan Inggris yang masuk ke Indonesia untuk membantu kegiatan administrasi di perusahaan tekstil dan perusahaan maYunus 1990). Internal auditor yang pertama kali datang di Indonesia adalah J.W Labrijn yang sudah berada di Indonesia pada tahun 1896 dan orang yang pertama melaksanakan pekerjaan audit (menyusun dan mengontrol pembukuan perusahaan) adalah Van Schage yang dikirim ke Indonesia pada tahun 1907 (Soemarso 1995).
       Pengiriman Van Schagen merupakan  titik tolak berdirinya Jawatan Akuntan Negara-Government Account Dienst yang terbentuk pada tahun 1915 (Soemarso 1995). Akuntan Publik yang pertama adalah Frese & Hogeweg yang mendirikan kantor di Indonesia pada tahun 1918. Pendirian kantor ini diikuti kantor akuntan yang lain yaitu kantor akuntan H.Y. Voerens pada tahun 1920 dan pendirian Jawatan Akuntan Pajak-Belasting Accountant Dienst (Soemarso 1995). Pada era penjajahan, tidak ada orang Indonesia yang bekerja sebagai akuntan publik. Orang Indonesia pertama yang bekerja di bidang akuntansi adalah JD Massie, yang diangkat sebagai pemegang buku paada Jawatan Akuntan Pajak pada tanggal 21 September 1929 (Soemarso 1995).
         Kesempatan bagi akuntan lokal (Indonesia) mulai muncul pada tahun 1942-1945, dengan mundurnya Belanda dari Indonesia. Sampai tahun 1947 hanta ada satu orang akuntan yang berbangsa Indonesia yaitu Prof. Dr. Abutari (Soemarso 1995). Praktik akuntansi model Belanda masih digunakan selama era setelah kemerdekaan (1950an). Pendidikan dan pelatihan akuntansi masih didominasi oleh sistem akuntansi model Belanda. Nasionalisasi atas perusahaan yang dimiki Belanda dan pindahnya orang orang Belanda dari Indonesia pada tahun 1958 menyebabkan kelangkaan akuntan dan tenaga ahli (Diga dan Yunus 1997).
        Atas dasar nasionalisasi dan kelangkaan akuntan, Indonesia pada akhirnya berpaling pada praktik akuntansu model Amerika. Namun demikian, pada era ini praktik akuntansi model Amerika mampu berbaur dengan akuntansi model Belanda, terutama yang terjadi di lembaga pemerintah. Makin meningkatnya jumlah institusi pendidikan tinggi yang menawarkan pendidikan akuntansi seperti pembukaan jurusan akuntansi di Universitas Indonesia 1952, Institusi Ilmu Keuangan (Sekolah Tinggi Akuntan Negara-STAN) 1990, Universitas Padjajaran 1961, Universitas Sumatera Utara 1962, Universitas Airlangga 1962 dan Universitas Gadjah Mada 1964 (Soemarso 1995) telah mendorong pergantian praktik akuntansi model Belanda dengan model Amerika pada tahun 1960 (ADB 2003). Selanjutnya, pada tahun 1970 semua lembaga harus mengadopsi sistem akuntansi model Amerika (Diga dan Yunus 1997).
       Pada pertengahan tahun 1980an, sekelompok tehknorat muncul dan memiliki kepedulian terhadap reformasi ekonomi dan akuntansi. Kelompok tersebut berusaha untuk menciptakan ekonomi yang lebih kompetitif dan lebih berorientasi pada pasar dengan dukungan praktik akuntansi yang baik. Kebijakan kelompok tersebut memperoleh dukungan kuat dari investor asing dan lembaga lembaga internasional (Rosser 1999). Sebelum perbaikan pasar modal dan pengenalan reformasi akuntansi tahun 1980an dan awal 1990an, dalam praktik banya ditemui perusahaan yang memiliki tiga jenis pembukuan, satu untuk menunjukkan gambaran sebenarnya dari perusahaan dan untuk dasar pengambilan keputusan, satu untuk menunjukkan hasil yang positif dengan maksud agar dapat digunakan untuk mengajukan pinjaman/kredit dari bank domestik dan asing, dan satu lagi yang menunjukkan hasil negatif (rugi) untuk tujuan pajak (Kwik 1994).
       Pada awal tahun 1990an, tekanan untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan muncul seiring dengan terjadinya berbagai skandal pelaporan keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan dan perilaku investor. Skandal pertama adalah kasus Bank Duta (bank swasta yang dimiliki oleh tiga yayasan yang dikendalikan presiden Suharto). Bank Duta go public pda tahun 1990 tetapi gagal mengungkapkan kerugian yang jumlah besar (ADB 2003). Bank Duta juga tidak menginformasi semua informasi kepada Bapepam, auditornya atau underwritternya tentang masalah tersebut. Celakanya, auditor Bank Duta mengeluarkan opini wajar tanpa pengecualian. Kasus ini diikuti oleh kasus Plaza Indonesia Realty (pertengahan 1992) dan Barito Pacific Timber (1993). Rosser (1999) mengatakan bahwa bagi pemerintah Indonesia, kualitas pelaporan keuangan harus diperbiki jika memang pemerintah menginginkan adanya transformasi pasar modal dari model “casino” menjadi model yang dapat memobilisasi aliran investasi jangka panjang.
      Berbagai skandal tersebut telah mendorong pemerintah dan badan berwenang untuk mengeluarkan kebijakan regulasi yang ketat berkaitan dengan pelaporan keuangan. Pertama, pada September 1994, pemerintah melalui IAI mengadopsi seperangkat standar akuntansi keuangan, yang dikenal dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Kedua, pemerintah bekerjasama dengan Bank Dunia (World Bank) melaksanakan Proyek Pengembangan Akuntansi yang ditunjukkan untuk mengembangkan regulasi dan melatih profesi akuntansi. Ketiga, pada tahun 1995, pemerintah membuat berbagai aturan berkaitan dengan akuntansi dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Keempat, pada tahun 1995 pemerintah memasukkan aspek akuntansi/pelaporan keuangan kedalam Undang-Undang Pasar Modal (Rosser 1999).
           Jatuh nilai rupiah pada tahun 1997 – 1998 makin meningkatkan tekanan pada pemerintah untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan. Sampai awal 1998, kebangkrutan konglomerat, collapsenya sistem perbankan, meningkatnya inflasi dan pengangguran memaksa pemerintah bekerja sama dengan IMF dan melakukan negosiasi atas berbagai paket penyelamat yang ditawarkan IMF. Pada waktu ini, kesalahan secara tidak langsung diarahkan pada buruknya praktik akuntansi dan rendahnya kualitas keterbukaan informasi (transparency). Ringkasan perkembangan praktik akuntansi di Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.1.

Tabel 1.1
Faktor Lingkungan dan Praktik Akuntansi
PERKEMBANGAN POLITIK DAN SOSIAL
PERKEMBANGAN EKONOMI
PERKEMBANGAN AKUNTANSI
ERA KOLONIAL BELANDA (1595-1945):
         Belanda menguasai Jawa dan kepulauan lainnya
        Islam menjadi agama mayoritas
Perusahaan Hindia Belanda (VOC) menguasai perdagangan di Indonesia. Keterlibatan dan fasilitas pribumi di perdagangan dibatasi dengan ketat. Etnis China diberi hak khusus di bidang perdagangan dan transportasi air.
Belanda mengenalkan akuntansi di Indonesia Regulasi akuntansi yang pertama dikeluarkan tahun 1642 oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Regulasi tersebut mengatur administrasi Kas dan Piutang (Abdoelkadir 1982)
ERA SOEKARNO (1945-1966):
Indonesia memperoleh kemerdekaan. Kepemimpinan presiden Soekarno dekat dengan Pemerintah China (RRC). Tahun 1965 terjdi usaha kudeta oleh komunis yang berhasil digagalkan dan mendorong peran militer
Dominasi perdagangan oleh Belanda dan Cina mendorong munculnya ketidakadilan di masyarakat. Akhirnya, Indonesia memilih pendekatan sosialis dalam pembangunan yang ditandai dengan dominasi peran negara. Tahun 1958, semua perusahaan milik Belanda dinasionalisasi dan warga negara Belanda keluar dari Indonesia
Akademisi lulusan Amerika mengisi kekosongan posisi akuntan dan sistem akuntansi dan auditing Amerika dikenalkan di Indonesia. Baik akuntansi model Belanda maupun Amerika digunakan secara bersama.
Ikatan Akuntan Indonesia didirikan tahun 1957 untuk memberi pedoman dan untuk mengkoordinasi aktivitas akuntan
ERA SUHARTO (1966-1998):
Suharto menjadi presiden tahun 1966 engan pendekatan kebijakan ekonomi dan politik yang konservatif.
Di bawah kepemimpinan Suharto, pembangunan ekonomi didasarkan pada pendekatan kapitalis. Investasi asing didorong dan tahun 1967 dikeluarkan Undang Undang Penanaman Modal Asing yang menghasilkan munculnya perusahaan asing.
Tahun 1997-1998 krisis Keuangan Asia menimpa Indonesia dan banyak perusahaan yang bankrut.
Terjadi transfer pengetahuan dan keahlian akuntansi secara langsung dari Kantor Pusat perusahaan asing kepada karyawan Indonesia dan secra tidak langsung mempengaruhi aaktivitas bisnis.
Tahun 1973, IAI mengadopsi seperangkat prinsip akuntansi dan standar auditing serta frofessinal code of conduct. Prinsip-prinsip akuntansi didasarkan pada pedoman akuntansi yang dipublikasikan AICPA tahun 1965.
Standar akuntansi internasional diadopsi tahun 1995
ERA SETELAH SUHARTO (SETELAH 1998) :
Suharto dipaksa mengundurkan diri pada tahun 1998.
Indonesia berjuang dari kesulitan ekonomi dan stabilitas sosial.
Regulasi diperketat untuk memperbaiki pengungkapan informasi.

·         Periodisasi perkembangan akuntansi di Indonesia
          Periodisasi perkembangan akuntansi di Indonesia dapat dibagi atas : Zaman kolonial dan zaman kemerdekaan.

1. Zaman Kolonial
Zaman VOC
             Sebelum bangsa Eropa: Portugis, Spanyol, dan Belanda masuk ke Indonesia transaksi dagang dilakukan secara barter. Cara ini tidak melakukan pencatatan. Pada waktu orang –orang Belanda datang ke Indonesia kurang lebih akhir abad ke-16, mereka datang dengan tujuan untuk berdagang kemudian mereka membentuk perserikatan Maskapai Belanda yang dikenal dengan nama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) , yang didirikan pada tahun 1602, sebagai peleburan dari 14 maskapai yang beroprasi di Hindia Timur. Selanjutnya VOC membuka cabangnya di Batavia tahun 1619 dan di tempat-tempat lain di Indonesia. Kemudian dibentuk jabatan Gubernur Jenderal untuk menangani urusan-urusan VOC. Akhir abad ke-18 VOC mengalami kemunduran dan akhirnya dibubarkan pada 31 Desember 1799.
         Dalam kurun waktu itu, VOC memperoleh hak monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilakukan secara paksa di Indonesia, dimana jumlah transaksi dagangnya, baik frekuensi maupun nilainya terus bertambah dari waktu ke waktu. Pada tahun itu bisa dipastikan Maskapai Belanda telah melakukan pencatatan atas mutasi transaksi keuangan.
       Dalam hubungan itu, Ans Saribanon Sapiie (1980), mengemukakan bahwa menurut Stible dan Stroomberg, bukti autentik mengenai catatan pembukuan di Indonesia paling tidak sudah ada menjelang pertengahan abad ke-17.
      Hal itu ditunjukkan dengana adanya sebuah Instruksi Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1642 yang mengharuskan dilakukan pengurusan pembukuan atas penerimaan uang, pinjaman-pinjaman, dn jumlah uang yang diperlukan untuk penegeluaran (eksplorasi) garnisun-garnisun dan galangan kapal yang ada di Batavia dan Surabaya.

2. Zaman Penjajahan Belanda
               Setelah VOC bubar pada tahun 1799, kekuasaannya diambil alih oleh Kerajaan Belanda, zaman penjajahan Belanda dimulai tahun 1800-1942. Pada waktu itu, catatan pembukuan menekankan pada mekanisme debet dan kredit, yang diantara lain dijumpai pada pembukuan Amphioen Socyteit di Batavia. Amphioen socyteit bergerak dalam  usaha morfin (amphioen) yang merupakan usaha monopoli di Belanda.
  Pada abad ke-19 banyak perusahaan Belanda didirikan atau masuk ke Indonesia dengan membuka cabang atau perwakilan, yang antara lain sebagai berikut :
  • Deli Maatschaappij (perkebunan)
  • Biliton Maatschaappij (timah)
  • Bataafche Petroleum Maatschaappij (minyak)
  • Koninklijke Paketvaart Maatschaappij (pelayaran nusantara), setelah dinasionalisasikan            oleh pemerintah RI menjadi perusahaan pelayaran nasional (PELNI)
  • Rotterdamsch Lloyd (maskapai atau agen pelayaran internasional), setelah dinasionalisasikan menjadi Djakarta Lloyd
  • Koninklijke Nederlands Indische Luhtvaart Maatschaappij (penerbangan nusantara), setelah dinasionalisasikan menjadi Garuda Indonesia Airways
  • toomvart Maatschaappij Nederlands
  • Firma Ruys of de Oost
  • Nederlands Handel’s Bank
  • Algeme Handel’s Bank, Untuk mengangkut hasil produksi perkebunan dan tambang, dibuka jalan kereta api dari daerah asal menuju ke pelabuhan. Kereta api yang pertama diadakan pada tahun 1870 yang menghubungkan antara daerah pedalaman Jawa Tengah dengan Semarang, menyusul dari pedalaman Jawa Barat ke pelabuhan Tanjung Priok, dari pedalaman Jawa Timur ke pelabuhan Tanjung perak dan dri pedalaman Sumatra Selatan ke Palembang. Di samping jalan kereta api juga dibangun dan/atau ditingkatkan ke jalan darat untuk melancarkan arus produksi perkebunandan pertambangan ke kota-kota pelabuhan. Catatan pembukuannya merupakan modifikasi sistem Venesia-Italia, dan tidak dijumpai adanya kerangka pemikiran konseptual untuk mengembangkan sistem pencatatan tersebut karena kondisinya sangat menekankan pada praktik-praktik dagang yang semata-,mata untuk kepentingan perusahaan Belanda. Sedangkan, segmen bisnis menengah kebawah dikuasai oleh pedagang keturunan, yaitu : Cina, India, dan Arab. Sejalan dengan itu, ada kebebasan dalam penyelenggaraan pembukuan sehingga praktik pembukuannya menggunakan atau dipengaruhi oleh sistem asal etnis yang bersangkutan.
Hadibroto (1992) mengihtisarkan sistem pembukuan asal etnis sebagai berikut.
a. Sistem pembukuan Cina, terdiri dari 5 kelompok, yaitu :
  • Sistem Hokkian (amoy)
  • Sitem Kanton
  • Sistem Hokka
  • Sistem Tio Tjoe atau sistem Swatow
  • Sistem Gaya Baru (New system).
b. Sistem pembukuan India atau Sistem Bombay
c. Sistem pembukuan arab atau Hadramaut.

·         Sekilas Perkembangan Akuntansi Di Indonesia
            Pada waktu Indonesia merdeka, ada satu orang akuntan pribumi, yaitu Prof. Dr. Abutari, sedangkan Prof. Soemardjo baru menyelesaikan pendidikan akuntannya di negeri Belanda pada tahun 1956. Akuntan Indonesia pertama yang merupakan lulusan dalam negeri adalah Basuki Siddharta, Hendra Darmawan, Tan Tong Djoe, dan Go Tien Siem. Mereka lulus pada pertengahan tahun 1957, keempat akuntan ini bersama dengan Prof. Soemardjo memprakarsai berdirinya perkumpulan Akuntan Indonesia.
            Dengan menyadari keindonesiaannya, mereka berkeyakinan bahwa tidak mungkin menjadi anggota NIVA (Nederlands Insttitute Van Accountants). Mereka juga berpendapat bahwa kedua lembaga itu dipastikan tidak mungkin akan memikirkan perkembangan dan pembinaan akuntan di Indonesia.
            Pada hari kamis tanggal 17 Oktober 1957, kelima akuntan tadi mengadakan pertemuan di aula Universitas Indonesia (UI) dan bersepakat untuk mendirikan perkumpulan akuntan Indonesia. Karen pertemuan tersebut tidak dihadiri semua akuntan yang ada, maka diputuskanlah untuk membentuk Panitia Persiapan Pendirian Perkumpulan Akuntan Indonesia. Panitia ini bertugas menghubungi akuntan lainnya untuk menyatakan pendapat mereka mengenai usulan pendirian perkumpulan akuntan Indonesia. Dalam panitia itu, Prof. Soemardjo ditunjuk sebagai ketua, Go Tien Siem sebagai penulis, Basuki Siddharta nsebagai bendahara, sedangkan Hendra Darmawan dan Tan Tong Djoe sebgai komisaris. Surat yang dikirimkan pada panitia ke 6 akuntan lainnya memperoleh jawaban setuju. Perkumpulan yang diberi nama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) akhirnya terbentuk pada tanggal 23 Desember 1957, yaitu pada pertemuan ketiga yang diadakan di aula UI pada pukul 19.30.
            Jadi kesimpulannya bahwa dalam perkembangannya suatu sistem akuntansi selalu mengalami perubahan dan pertambahan baik isi maupun fungsi suatu standart akuntansi yang ada di Indonesia sendiri perkembangan akuntansi sudah dimulai sejak era penjajahan Belanda sekitar 17 (ADB 2003) atau sekitar tahun 1642 (Soemarso 1995). Hal tersebut bermula saat  waktu Indonesia merdeka, ada satu orang akuntan pribumi, yaitu Prof. Dr. Abutari, sedangkan Prof. Soemardjo baru menyelesaikan pendidikan akuntannya di negeri Belanda pada tahun 1956. Akuntan Indonesia pertama yang merupakan lulusan dalam negeri adalah Basuki Siddharta, Hendra Darmawan, Tan Tong Djoe, dan Go Tien Siem. Mereka lulus pada pertengahan tahun 1957, keempat akuntan ini bersama dengan Prof. Soemardjo memprakarsai berdirinya perkumpulan Akuntan Indonesia.

Sumber :